Pada
31 tahun silam, tepatnya tanggal 6 Januari 1989, Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) lahir atas dasar
mandat Pemerintah/negara agar MUI berperan aktif dalam meredakan kasus lemak
babi di Indonesia.
Lahirnya
LPPOM MUI memberikan angin segar bagi konsumen muslim di Indonesia. Pasalnya,
sudah ada lembaga yang profesional dan dapat dipercaya untuk melakukan
pemeriksaan produk dan sertifikasi halal. Meski begitu, proses sertifikasi
halal masih dilakukan secara sukarela.
Kemudian,
pada Oktober 2014, ditetapkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI). Undang-undang ini mewajibkan seluruh produk yang
diproduksi, dijual dan diedarkan di Indonesia bersertifikat halal.
Agar
UU JPH ini dapat berjalan, maka diperlukan peraturan pelaksana. Di antaranya:
Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Selain itu,
diterbitkan pula Keputusan Menteri Agama Nomor 982 tahun 2019.
Ketiga
kebijakan regulasi tersebut menjelaskan wewenang, tugas, dan kewajiban dari
setiap stakeholder berdasarkan UU JPH. Setidaknya ada tiga stakeholder yang
saling terkait dalam industri halal di Indonesia, yaitu Pemerintah, Majelis
Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Pertama,
Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berwenang
dalam pendaftaran permohonan sertifikasi halal dan penerbitan sertifikat halal.
Selain itu, dalam UU JPH diterangkan juga bahwa BPJPH memiliki tugas untuk
sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal juga menjadi kewajiban dari
BPJPH.
Kedua,
MUI yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.
Kerja sama BPJPH dengan MUI dilakukan dalam bentuk sertifikasi auditor halal,
penetapan fatwa kehalalan produk, dan akreditasi LPH.
Dalam
penetapan fatwa, keputusan halal produk ditetapkan oleh MUI dalam sidang Komisi
Fatwa MUI. Hasilnya kemudian disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar
penerbitan sertifikat halal.
Ketiga,
LPH adalah lembaga yang berwenang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau
pengujian terhadap kehalalan produk. Setiap LPH wajib memiliki auditor halal
setidaknya 3 orang, yaitu orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan
kehalalan produk.
Auditor
halal bertugas untuk memeriksa dan mengkaji bahan; proses pengolahan; sistem
penyembelihan; meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; memeriksa
pendistribusian dan penyajian; memeriksa sistem jaminan halal; serta melaporkan
hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
Hingga
Agustus 2020, LPPOM MUI telah memiliki lebih dari 1.000 auditor halal dari
berbagai latar belakang pendidikan. Di antaranya: teknologi pangan, kimia,
biokimia, teknologi industri, biologi, farmasi.
Adapun
profesi auditor halal LPPOM MUI berasal dari kalangan profesional maupun
civitas akademika yang telah berpengalaman dan tersebar di berbagai tempat.
Baik di LPPOM MUI pusat, maupun di 38 kantor perwakilan yang terdiri dari 34
provinsi di Indonesia dan 4 kantor di China, Korea, dan Taiwan. Bahkan, lebih
dari 124 auditor telah mempunyai Sertifikat Kompetensi Kerja Profesi Auditor
Halal dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Ketiga
stakeholder di atas bertanggung jawab atas pelayanan sertifikasi bagi para
pelaku usaha di Indonesia.
Menurut
UU JPH, Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah
Indonesia. Pelaku usaha wajib untuk menerapkan dan mempertahankan konsistensi
implementasi sistem jaminan halal agar tetap berjalan dengan baik.
Karena
itu, setiap perusahaan harus memiliki penyelia halal, yaitu orang yang
bertanggung jawab terhadap proses produksi produk halal. Penyelia halal
bertugas untuk mengawasi dan mengoordinasikan proses produksi di perusahaan;
menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan; serta mendampingi auditor halal
pada saat pemeriksaan. (YN)
Sumber: