Jamu
atau obat herbal kembali marak diperjualbelikan, utamanya di tengah merebaknya
pandemi corona virus disease (COVID-19). Hal ini karena jamu memiliki beragam
khasiat yang dipercaya dapat mengatasi penyakit-penyakit tertentu dan meningkatkan
imunitas. Apalagi ditambah banyak orang percaya bahwa konsumsi jamu memiliki
efek samping yang lebih kecil dibanding obat kimia. Adakah titik kritis
keharamannya?
Di
Indonesia, jamu atau obat herbal diproduksi dengan memanfaatkan beragam tanaman
dan rempah-rempah yang dipercaya memiliki banyak manfaat, seperti jahe, kunyit,
sereh, dan sebagainya. Pada dasarnya, tanaman atau rempah-rempah masuk dalam
daftar produk tidak kritis (positive list). Namun, akan lain ceritanya
bila bahan-bahan tersebut mengalami proses pengolahan.
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam produksi jamu, utamanya apabila
telah mengalami proses pengolahan khusus, seperti produksi pabrik. Mari kita ulas
satu per satu.
Hal
pertama yang harus dipastikan adalah kehalalan bahan. Tak dapat dimungkiri tumbuhan
dan rempah melalui berbagai proses yang membutuhkan bahan-bahan lain untuk
menolong keberhasilan proses tersebut. Beberapa bahan penolong berasal dari
hewan, sehingga harus dipastikan bahan penolong tersebut berasal dari hewan
halal yang disembelih sesuai syariah.
Yang
juga perlu diperhatikan, ada jamu yang menggunakan campuran bahan dari organ
binatang buas. Sehingga status kehalalannya pun dapat diragukan, atau bahkan
menjadi haram dikonsumsi bagi umat Muslim.
Ir.
Muti Arintawati, M.Si., Wakil Direktur LPPOM MUI, menjelaskan, ada
jamu herbal dari China, yang banyak dipergunakan untuk pasien setelah operasi
besar. Misalnya untuk ibu-ibu setelah operasi Cesar, atau pasien operasi usus
buntu. Konon, mengkonsumsi jamu atau obat tradisional China dapat mempercepat
pemulihan luka.
“Setelah ingredient kandungan
bahannya dibaca dengan teliti, ternyata, jamu atau obat yang disebut herbal itu
mengandung bahan hewani juga. Diantaranya adalah darah ular, tangkur buaya,
kuku macan, hati beruang, dan sebagainya,” tutur Muti.
Hal yang menjadi titik kritis
selanjutnya adalah cangkang kapsul. Dengan berkembangnya teknologi, saat ini
sudah banyak jamu yang dimasukkan ke dalam cangkang kapsul. Pada dasarnya,
cangkang kapsul itu dibuat dari bahan gelatin. Sayangnya, sebagian besar bahan
gelatin berasal dari hewan.
Jika
bicara soal gelatin, ada banyak hal yang harus diperhatikan. Gelatin adalah senyawa turunan protein yang diperoleh
dengan cara mengekstrak kolagen hewan. “Sampai saat ini, belum ada
produsen yang memproduksi kolagen secara komersial di Indonesia. Hampir 60%
penggunaan kolagen dan gelatin di dunia berasal dari babi,” ujar Dr. Mala
Nurimala, S.Pi., M.Si., Dosen Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikan dan Ilmu Kelautan, IPB University sekaligus peneliti di Halal Science
Center IPB.
Terdapat
dua cara dalam mengekstraksi kolagen menjadi gelatin, yaitu dengan pengasaman
dan enzimatis. Proses ekstraksi secara enzimatis yang perlu ditelaah lebih
lanjut karena memerlukan enzim protease yang dapat memecah protein. Sayangnya,
selama ini enzim protease yang banyak dijual berasal dari babi, seperti pepsin.
Fasilitas
produksi jamu juga patut diperhatikan. “Sebagian perusahaan menggunakan
fasilitas pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa jadi menerima pesanan tidak hanya
dari satu perusahaan. Artinya, satu pabrik bisa memproduksi untuk sepuluh
perusahaan,” terang Muti.
Karena
itu, lanjutnya, ada kemungkinan dalam satu pabrik ada produk yang berbahan
halal, ada juga yang mengandung najis. Apabila terjadi kontaminansi, itu bisa
menyebabkan produk yang tadinya halal menjadi terkontaminansi najis, sehingga
hukumnya menjadi nonhalal.
Berdasarkan panduan Al-Qur’an dan
Sunnah, sebenarnya sangat mudah untuk menentukan kehalalan suatu obat. Hal ini
terutama berlaku bagi jamu dan obat herbal, dimana semua tanaman (kecuali yang
merugikan) dijamin kehalalannya untuk dikonsumsi.
Namun,
keterlibatan teknologi yang berkembang pesat dan perdagangan bebas membuat
penilaian ini tidak mudah. Ada banyak aspek yang harus dipenuhi dan dikaji oleh
para ahli sebelum obat dan jamu tradisional tersebut dinyatakan halal.
Dari
sini maka jelas, jamu herbal harus diteliti dengan proses sertifikasi halal,
guna meyakinkan bahwa semua kandungan bahan dan proses produksinya memang halal
menurut kaidah syariah. (YN)